Sabtu, 07 Agustus 2010

kisah perjalanan menuju "NIRWANA"

Sebuah perjalanan yang diawali dengan keraguan akan kesunguhan niat untuk menyatuka visi bersama.

Semua berawal dari hari yang sudah tidak diingat dan tanggal yang terlupa, di saat berkumpul bersama, bersenda gurau dan tanpa di rencana terucap kalimat, "berenang di sungai yuk", "tapi sungai mana yang jernih nan seger" , "ada sungai di kelaten, masih seger nan jernih", "wah, boleh juga tu". Sejak saat pembicaraan itu di mulai hari demi hari terlewati dan tanpa sadar dan rasa tak sabar menunggu.
Tiba lah hari yang di janjikan datang, rencana hampir saja hanya menjadi rencana, dan menjadi mimpi yang tidak terwujud untuk selamanya. Tetapi karena kesadaran didalam raga setiap mahluk yang akan berpartisipasi dalam hajatan yang tidak tau kapan lagi akan terulang ini, maka mimpi itu menjadi kenyataan, walau sedikit melenceng dari waktu yang sudah di tentukan. Perjalanan di mulai menuju tempat yang mungkin menyerupai nirwana. Detik demi detik terlewati menit pun berganti, dan jam terus berjalan, tanpa sadar dan dengan rasa yang cukup melelahkan akhirnya tibalah ditempat yang dijanjikan menyerupai NIRWANA.









Waktu terus berjalan, menyadari bahwa tidak selamanya akan terus disini, maka mulailah berkemas bersiap-siap untuk kembali ketempat asal, kembali kekehidupan nyata kehidupan yang angkuh dan sombong. Perjalanan pun dimulai dan diantar dengan tangisan langit yang masih menitik, dan terus menerus hingga akhirnya tangisan langit semakin hebat dan terus menjadi-jadi. Terjadilah keraguan di dalam hati akankah terus melanjutkan perjalanan yang berat ini, atau harus berhenti untuk menghindari tangisan langit. Pada akhirnya hati memilih untuk menghindari tetesan deras air mata langit itu. Perjalanan dimulai kembali, dan berteduh lagi, dimulai lagi dan berteduh lagi, dimulai lagi dan berteduh lagi, entah sampai berapa kali itu semua diulangi oleh raga yang sudah basah oleh air mata langit ini. Hingga pada tengah malam, sampailah dimana tempat yang dikatakan oleh orang-orang tua kita sebagai rumah, tempat untuk berlindung dari cobaan alam. Raga pun direbahkan hingga tanpa sadar jiwa ini lepas dari raga yang sudah penuh dengan beban hari yang melelahkan. Terlelap dengan penuh kebahagiaan terlukis senyum diraut wajah yang lelah.